Oktober 24, 2008

Peranan ,prinsip kerja, dan pengaruh Bulog

Jika ditelusuri, sejarah Bulog tidak dapat terlepas dari sejarah lembaga pangan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai pemerintahan sekarang ini. Secara umum tugas lembaga pangan tersebut adalah untuk menyediakan pangan bagi masyarakat pada harga yang terjangkau diseluruh daerah serta mengendalikan harga pangan di tingkat produsen dan konsumen. Instrumen untuk mencapai tujuan tersebut dapat berubah sesuai kondisi yang berkembang. Campur tangan pemerintah dalam komoditas beras diawali sejak Maret 1933 yaitu di zaman pemerintahan Belanda. Saat itu, untuk pertama kalinya pemerintah Belanda mengatur kebijakan perberasan, yaitu dengan menghapus impor beras secara bebas dan membatasi impor melalui system lisensi. Latar belakang ikut campurnya pemerintah Belanda dalam perberasan waktu itu adalah karena terjadinya fluktuasi harga beras yang cukup tajam (tahun 1919/1920) dan sempat merosot tajam pada tahun 1930, sehingga petani mengalami kesulitan untuk membayar pajak. Menjelang pecahnya Perang Dunia II, pemerintah Belanda memandang perlu untuk secara resmi dan permanen mendirikan suatu lembaga pangan. Tanggal 25 April 1939, lahirlah suatu lembaga pangan yang disebut Voeding Middelen Fonds (VMF). Lembaga pangan ini banyak mengalami perubahan nama maupun fungsi. Secara ringkas, perkembangannya sebagai berikut: • Tahun 1939 didirikan VMF yang tugasnya membeli, menjual dan mengadakan persediaan bahan makanan. • Tahun 1942-1945 (zaman pendudukan Jepang) VMF dibekukan dan diganti dengan "Sangyobu Nanyo Kohatsu Kaisha". • Tahun 1945-1950, terdapat 2 organisasi, yaitu: Di Daerah RI: Didirikan Jawatan Pengawasan Makanan Rakyat (PMR) dan pada Tahun 1947/48 dibentuk Kementrian Persediaan Makanan Rakyat sedang di daerah yang diduduki Belanda: VMF dihidupkan kembali dengan tugas seperti yang telah dijalankan di tahun 1939. sedang • Tahun 1950 dibentuk Yayasan Bahan Makanan (BAMA) (1950-1952) yang tugasnya yaitu membeli, menjual dan mengadakan persediaan pangan. • Tahun 1952 fungsi dari Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) (1952-1958) ini lebih banyak berhubungan dengan masalah distribusi/pemerataan pangan. Dalam periode ini mulailah dilaksanakan kebijaksanaan dan usaha stabilisasi harga beras melalui injeksi di pasaran. • Tahun 1958 selain YUBM yang ditugaskan untuk impor didirikan pula YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi) (1958-1964) yang dibentuk di daerah-daerah dan bertugas untuk membeli padi. Dengan meningkatnya harga beras dan terjadinya tekanan-tekanan dari golongan penerima pendapatan tetap, maka pemerintah pada periode ini meninggalkan prinsip stabilisasi melalui mekanisme pasar dan beroientasi pada distribusi fisik. • Tahun 1964 YUBM dan YBPP dilebur menjadi BPUP (Badan Pelaksana Urusan Pangan) (1964-1966). Tugas badan ini mengurus persediaan bahan pangan di seluruh Indonesia. • Tahun 1966 BPUP dilebur menjadi Kolognas (Komando Logistik Nasional) (1966-1967). Tugas Kolognas adalah mengendalikan operasional bahan-bahan pokok kebutuhan hidup. Kebijaksanaan dan tindakan yang diambil untuk menanggulangi kekurangan stok waktu itu adalah mencari beras luar negeri. • Tahun 1967 KOLOGNAS dibubarkan, diganti dengan BULOG (Badan Urusan Logistik) (1967-1969) yang dibentuk dengan KEPPRES No. 114/KEP, 1967. Berdasarkan KEPPRES RI No. 272/1967, BULOG dinyatakan sebagai "Single Purchasing Agency" dan Bank Indonesia ditunjuk sebagai Single Financing Agency (Inpres No. 1/1968). • Pada tanggal 22 Januari 1969 (Reorganisasi BULOG) berdasarkan KEPPRES 11/1969, struktur organisasi BULOG diubah. Tugas BULOG yaitu membantu Pemerintah untuk menstabilkan harga pangan khususnya 9 bahan pokok. Tahun 1969 mulailah dibangun beberapa konsep dasar kebijaksanaan pangan yang erat kaitannya dengan pola pembangunan ekonomi nasional antara lain : konsep floor dan ceiling price; konsep bufferstock; dan Sistem serta tatacara pengadaan, pengangkutan, penyimpanan dan penyaluran. Tugas BULOG semakin bertambah. Komoditi yang dikelola bertambah menjadi gula pasir (1971), terigu (1971), daging (1974), jagung (1978), kedelai (1977), kacang tanah (1979), kacang hijau (1979), telur dan daging ayam pada Hari Raya, Natal/Tahun Baru. Kebijaksanaan Stabilisasi Harga Beras yang berorientasi pada operasi bufferstock dimulai tahun 1970. Stabilisasi harga bahan pangan terutama yang dikelola BULOG masih tetap menjadi tugas utama di era 1980-an. Orientasi bufferstock bahkan ditunjang dengan dibangunnya gudang-gudang yang tersebar di wilayah Indonesia. Struktur organisasi BULOG diubah sesuai Keppres No. 39/1978 tanggal 6 Nopember 1978 dengan tugas membantu persediaan dalam rangka menjaga kestabilan harga bagi kepentingan petani maupun konsumen sesuai kebijaksanaan umum Pemerintah. Penyempurnaan organisasi terus dilakukan. Melalui Keppres RI No. 50/1995 BULOG ditugaskan mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya. Lewat LoI Oktober 1997 dan MEFP 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tarif impor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas perdagangan beras, itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula BULOG harus mengambil pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi juga telah diberlakukan dalam hal harga pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagi disubsidi pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidi petani lewat KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan dana BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal, sementara harga jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian dari ratifikasi Indonesia atas Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang mengatur penghapusan dan pengurangan tarif serta pengurangan subsidi. Tugas pokok BULOG dipersempit melalui Keppres No. 45 / 1997 tanggal 1 Nopember 1997 yaitu hanya mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras dan gula. Selang beberapa bulan, sesuai LOI tanggal 15 Januari 1998, Bulog hanya memonopoli beras saja. Liberalisasi beras mulai dilaksanakan sesuai Keppres RI no. 19/1998 tanggal 21 Januari 1998 dan tugas pokok BULOG hanya mengelola beras saja. Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih murah dari beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton. Karena jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor dinaikkan menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600/kg, dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraih laba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret 2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras impor terus saja masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal terus merosot tajam, sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg. Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp 700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir besar. Tugas pokok BULOG diperbaharui kembali melalui Keppres no. 29/2000 tanggal 26 Pebruari 2000 yaitu melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan, distribusi, pengendalian harga beras dan usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tugas tersebut tidak berjalan lama karena mulai 23 Nopember 2000 keluar Keppres No. 166/2000 dimana tugas pokoknya melaksanakan tugas pemerintah bidang manajemen logistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akhirnya, Keppres No. 103/2001 tanggal 13 September 2001 mengatur kembali tugas dan fungsi BULOG. Tugasnya melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan kedudukan sebagai lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Selama lebih dari 30 tahun Bulog telah melaksanakan penugasan dari pemerintah untuk menangani bahan pangan pokok khususnya beras dalam rangka memperkuat ketahanan pangan nasional. Manajemen Bulog tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, meskipun ada perbedaan tugas dan fungsi dalam berbagai periode. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, status hukum Bulog adalah sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan Keppres RI No. 39 tahun 1978. Namun, sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 timbul tekanan yang sangat kuat agar peran pemerintah dipangkas secara drastis sehingga semua kepentingan nasional termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman khususnya AS dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank. Konsekuensi logis yang harus diterima dari tekanan tersebut adalah Bulog harus berubah secara total. Dorongan untuk melakukan perubahan datangnya tidak hanya dari luar negeri, namun juga dari dalam negeri. Pertama , perubahan kebijakan pangan pemerintah dan pemangkasan tugas dan fungsi Bulog sehingga hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan monopoli impor seperti yang tertuang dalam beberapa Keppres dan SK Menperindag sejak tahun 1998. Keppres RI terakhir tentang Bulog, yakni Keppres RI No. 103 tahun 2001 menegaskan bahwa Bulog harus beralih status menjadi BUMN selambat-lambatnya Mei 2003. Kedua , berlakunya beberapa UU baru, khususnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli, dan UU No. 22 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah yang membatasi kewenangan Pemerintah Pusat dan dihapusnya instansi vertikal. Ketiga , masyarakat luas menghendaki agar Bulog terbebas dari unsur-unsur yang bertentangan dengan tuntutan reformasi, bebas dari KKN dan bebas dari pengaruh partai politik tertentu, sehingga Bulog mampu menjadi lembaga yang efisien, efektif, transparan dan mampu melayani kepentingan publik secara memuaskan. Keempat , perubahan ekonomi global yang mengarah pada liberalisasi pasar, khususnya dengan adanya WTO yang mengharuskan penghapusan non-tariff barrier seperti monopoli menjadi tariff barrier serta pembukaan pasar dalam negeri. Dalam LoI yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan IMF pada tahun 1998, secara khusus ditekankan perlunya perubahan status hukum Bulog agar menjadi lembaga yang lebih efisien, transparan dan akuntabel. Sehubungan dengan adanya tuntutan untuk melakukan perubahan, Bulog telah melakukan berbagai kajian-kajian baik oleh intern Bulog maupun pihak ekstern. Pertama , tim intern Bulog pada tahun 1998 telah mengkaji ulang peran Bulog sekarang dan perubahan lembaganya di masa mendatang. Hal ini dilanjutkan dengan kegiatan sarasehan pada bulan Januari 2000 yang melibatkan Bulog dan Dolog selindo dalam rangka menetapkan arahan untuk penyesuaian tugas dan fungsi yang kemudian disebut sebagai "Paradigma Baru Bulog". Kedua , kajian ahli dari Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1999 yang menganalisa berbagai bentuk badan hukum yang dapat dipilih oleh Bulog, yakni LPND seperti sekarang, atau berubah menjadi Persero, Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Perjan atau Perum. Hasil kajian tersebut menyarankan agar Bulog memilih Perum sebagai bentuk badan hukum untuk menjalankan dua fungsi bersamaan, yaitu fungsi publik dan komersial. Ketiga , kajian auditor internasional Arthur Andersen pada tahun 1999 yang telah mengaudit tingkat efisiensi operasional Bulog. Secara khusus, Bulog disarankan agar menyempurnakan struktur organisasi, dan memperbaiki kebijakan internal, sistim, proses dan pengawasan sehingga dapat memperbaiki efisiensi dan memperkecil terjadinya KKN di masa mendatang. Keempat , kajian bersama dengan Bernas Malaysia pada tahun 2000 untuk melihat berbagai perubahan yang dilakukan oleh Malaysia dan merancang kemungkinan penerapannya di Indonesia. Kelima , kajian konsultan internasional Price Waterhouse Coopers (PWC) pada tahun 2001 yang telah menyusun perencanaan korporasi termasuk perumusan visi dan misi serta strategi Bulog, menganalisa core business dan tahapan transformasi lembaga Bulog untuk berubah menjadi lembaga Perum. Keenam , dukungan politik yang cukup kuat dari anggota DPR RI, khususnya Komisi III dalam berbagai hearing antara Bulog dengan Komisi III DPR RI selama periode 2000-2002. Berdasarkan hasil kajian, ketentuan dan dukungan politik DPR RI, disimpulkan bahwa status hukum yang paling sesuai bagi Bulog adalah Perum. Dengan bentuk Perum, Bulog tetap dapat melaksanakan tugas publik yang dibebankan oleh pemerintah terutama dalam pengamanan harga dasar pembelian gabah, pendistribusian beras untuk masyarakat miskin yang rawan pangan, pemupukan stok nasional untuk berbagai keperluan publik menghadapi keadaan darurat dan kepentingan publik lainnya dalam upaya mengendalikan gejolak harga. Disamping itu, Bulog dapat memberikan kontribusi operasionalnya kepada masyarakat sebagai salah satu pelaku ekonomi dengan melaksanakan fungsi usaha yang tidak bertentangan dengan hukum dan kaidah transparansi. Dengan kondisi ini gerak lembaga Bulog akan lebih fleksibel dan hasil dari aktivitas usahanya sebagian dapat digunakan untuk mendukung tugas publik, mengingat semakin terbatasnya dana pemerintah di masa mendatang. Dengan kondisi tersebut diharapkan perubahan status Bulog menjadi Perum dapat lebih menambah manfaat kepada masyarakat luas. Dan pada akhirnya era baru itu datang juga, sejak tanggal 20 Januari 2003 LPND Bulog secara resmi berubah menjadi Perum Bulog berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2003 yang kemudian direvisi menjadi PP RI No. 61 Tahun 2003. Peluncuran Perum Bulog ini dilakukan di Gedung Arsip Nasional Jakarta pada tanggal 10 Mei 2003. Surat Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula, dan Minyak Goreng memberikan kewenangan kepada Bulog untuk melakukan monopoli impor, melakukan stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras minimal satu juta ton (Kompas, 14 September 2007). Status monopoli Bulog sendiri bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, menjadi lain jika importir beras lain sangat letih untuk berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau penegak hukum lainnya. Mungkin saja, Bulog dimaksudkan untuk menjadi suatu lembaga monopoli alamiah yang berwajah humanis dan tidak memberatkan produsen dan konsumen. Akan tetapi, banyak studi yang menyimpulkan bahwa status monopoli Bulog dan intervensi pemerintah yang berlebihan selama tiga dasawarsa telah menjadi kontributor penting bagi distorsi ekonomi pangan di Indonesia. Suatu analisis dengan teknik ekonometrika mutakhir menyimpulkan bahwa Bulog tidak berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga beras, bahkan pada isolasi pasar di era Orde Baru (1967-1998). Fenomena keterbukaan sekarang tentu sangat menyulitkan bagi Bulog dan pemerintah untuk mengisolasi pasar beras dari pengaruh pergerakan harga di tingkat global. Menariknya, status monopoli Bulog justru berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada era Orde Baru, tetapi tidak sama sekali sejak era Reformasi (lihat Arifin, 2007). Alangkah mulianya jika kebijakan yang dibuat pemerintah mampu memberikan insentif yang memadai bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Menggerakkan ekonomi pedesaan, terutama sektor off-farm yang menciptakan lapangan kerja, dan tambahan pendapatan bagi kelompok miskin. Selanjutnya, mekanisme kerja antara pengelolaan cadangan pangan pokok dan stabilisasi harga pangan regional belum terbangun secara sistematis. Apalagi, amanat pengelolaan tersebut diperluas pada komoditas pangan strategis lain, seperti gula dan minyak goreng yang masih sering mengalami distorsi yang meresahkan. Sebenarnya, kewenangan baru Bulog dapat diartikan sebagai penciptaan ruang ideal bagi stabilisasi harga beras di tingkat regional. Itu karena terlalu sulit bagi negara sebesar Indonesia untuk menegakkan satu harga referensi pangan pokok dan strategis di daerah pantura Jawa dan di pedalaman Wamena di Papua, misalnya. Perbedaan biaya produksi dan biaya transportasi antara daerah pangan surplus dan daerah pangan minus adalah ”berkah” tersendiri bagi pelaku ekonomi dan aktivitas perdagangan dalam negeri. Akan tetapi, mekanisme kerja antara Divisi Regional Perum Bulog dan pemerintah daerah masih sebatas hubungan birokratis, seperti penentuan posisi cadangan pangan dan intervensi penyaluran untuk keluarga miskin. Mekanisme kerja seperti itu tentu harus dilengkapi hubungan fungsional-profesional untuk membangun sistem perdagangan domestik yang lebih adil dan beradab. Di sinilah esensi pentingnya adaptasi prinsip-prinsip manajemen modern dengan kinerja corporate culture menjadi prasyarat mutlak bagi tercapainya tugas dan kewenangan baru Perum Bulog tersebut. Pengelolaan cadangan pangan pokok di tingkat regional adalah upaya untuk ”membagi beban” persoalan pemerintah pusat, selain memang diamanatkan undang-undang. Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa ketahanan pangan adalah ”urusan wajib” pemerintah daerah, seperti termuat pada Pasal 3 Ayat (1) Huruf (m) dari PP No 3/2007 tentang Laporan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, sebagai amanat Pasal 13 dan 14, keduanya tertulis pada Ayat (1) Huruf (p) dari UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan buruknya proses pelaporan dan pemantauan harga pangan di daerah selama ini, pemerintah daerah dan Bulog tentu menghadapi tantangan besar. Apalagi masih harus memperbaiki kinerja perdagangan domestik dan meningkatkan gizi makro masyarakat, sebagaimana amanat kebijakan beras untuk keluarga miskin. Singkatnya, untuk menjadi pelaku tangguh di bidang pangan, budaya perusahaan di dalam Perum Bulog harus berubah total dari kultur birokrasi selama ini. Akan tetapi, pada saat yang sama, Bulog tidak layak mengambil untung ketika menjalankan fungsi sosialnya. Karakter dualisme manajemen seperti itu hanya dapat dilaksanakan oleh Superman. Praktik impor untuk kepentingan rente ekonomi telah mengorbankan kepentingan petani. Harga beras pada saat panen raya tidak dapat diselamatkan oleh Bulog. Sementara itu, pada saat paceklik, praktik impor beras dilakukan, sehingga petani tidak diuntungkan. Isu impor beras sudah muncul sejak September 2005. Pada saat itu, Bulog menyodorkan rencana impor karena stok beras sudah sangat berkurang. Isu stok berkurang, biasanya menjadi sinyal untuk menjalankan impor, meskipun persediaan beras masih cukup melimpah. Pola tersebut sudah menjadi kebiasaan tahunan, karena penerimaan rente pun mempunyai siklus tahunan seperti itu. Tetapi, tantangan rencana impor datang dari media massa, aktivis LSM, dan asosiasi petani. Tantangan itu tidak kuat, karena kepentingan menarik keuntungan ekstra dari bisnis penunjukan impor beras tersebut sangat menggiurkan dan nyaris tanpa risiko. Kepentingan segelintir orang selalu dimenangkan dalam kebijakan publik tersebut. Sejak September 2005, pengambil inisiatif dalam kebijkan publik itu adalah Perum Bulog, yang menyatakan bahwa pasokan beras sudah sangat berkurang. Sementara itu Departemen Pertanian mengatakan sebaliknya, yakni masih ada surplus beras di dalam negeri sehingga tak ada urgensi impor. Tetapi mafia beras lebih kuat, sehingga suara Departemen Pertanian hilang ditelan masa. Bulog, Departemen Perdagangan, dan Kementerian Perekonomian lebih kuat posisinya, sehingga menjadi media bagi pemburu rente untuk melaksanakan niatnya melakukan impor, meskipun tidak mendesak. Yang menarik adalah logika kebijakan terbalik, yaitu Dewan Ketahanan Pangan tidak digurbis. Bulog menjalankan misinya sendiri untuk mengadakan stok dengan impor, tidak dengan pengadaan dari dalam negeri secara optimal. Kepentingan petani ditinggalkan, dan dengan alasan kepentingan konsumen; maka impor dilakukan, dan rente ekonomi dikeruk dengan pengorbanan petani. Berkali-kali sejak September tahun lalu, Menteri Pertanian sebagai ketua Dewan Ketahanan Pangan menyatakan bahwa stok beras mengalami surplus. Namun, izin impor beras untuk Perum Bulog dengan dalih mendukung program beras untuk rakyat miskin (raskin) terlebih dulu turun. Dewan Ketahanan Pangan lemah, dan kebijakan perberasan didekte oleh kepentingan pemburu rente ekonomi. Bulog menjadi penentu yang memengaruhi kebijakan pemerintah dalam hal perberasan. Jika impor hendak dilakukan, maka isu kekurangan pasokan bisa digalang dalam waktu cepat. Kondisi surplus dengan harga beras yang rendah dalam waktu cepat, kemudian berubah isu menjadi defisit dan harga merangkak naik. Pada pertengahan 2005, BPS dan Departemen Pertanian menyatakan surplus beras, tetapi Bulog menyatakan sebaliknya. Tetapi jika diminta untuk melakukan pengadaan beras dalam negeri, maka Bulog beralasan gudangnya penuh, kualitas beras petani rendah, harga di atas HPP, dan alasan lainnya. Bulog telah lama dilibatkan dalam logistik pangan, tidak hanya pada komoditi beras. Tugas lembaga ini berkisar pada penyediaan pangan dengan harga terjangkau di seluruh wilayah Indonesia, serta mengendalikan harga pangan di tingkat konsumen maupun produsen. Jaminan harga terendah untuk petani padi misalnya, menjadi unsur penting dalam memperkecil risiko dalam usahatani maupun usaha penggilingan padi sehingga investasi di sana punya daya tarik tersendiri dan berkembang. Sejak krismon, peran dan tugas Bulog berubah secara drastis, seiring dengan komitmen pemerintah dengan IMF yang tertuang dalam berbagai LOI (Letter of Intent). Di era Reformasi yang dimulai sejak 1998, terjadi begitu banyak perubahan lingkungan strategis, baik yang datangnya dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta tuntutan publik. Itulah sebabnya mengapa Bulog harus berubah secara menyeluruh. Diantara yang penting dorongan perubahan itu, adalah: Pertama: perubahan kebijakan pangan pemerintah dan perubahan mandat Bulog. Bulog hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan monopoli impor atau hak-hak khusus impor sebagai STE (State Trading Enterprise). Isi Kepres etrkait dengan tugas Bulog berubah secara cepat seiring dengan kerapnya penggantian pemerintahan, sehingga risiko lembaga menjadi amat tinggi. Kedua: berlakunya berbagai UU baru, khususnya UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli, dan UU No 22/1999 tetang Otonomi Daerah. Sejumlah ahli berpendapat bahwa stok pangan nasional harus dilaksanakan secara terpusat. Ketiga: masyarakat luas menghendaki agar Bulog terbebas dari unsur-unsur yang bertentangan dengan tuntutan Reformasi, bebas dari pengaruh partai politik. Pada umumnya, masyarakat menghendaki agar Bulog menjadi lembaga yang efisien, transparan, dan mampu melayani kepentingan publik secara memuaskan. Keempat: perubahan ekonomi glonal khususnya adanya WTO serta pengaruh internasional khususnya IMF sebagai pra syarat tentang Bulog dalam LOI yang dibuat sejak 1997 sampai dengan 2000. WTO mengharuskan penghapusan berbagai hambatan perdagangan, seperti monopoli, larangan impor/ekspor serta membuka pasar dalam negeri. Melihat perubahan lingkungan strategis seperti yang telah disebutkan di atas, maka Bulog melakukan sejumlah eprsiapan untuk perubahan lembaga. Dalam periode 2000-2003 dilakukan sejumlah kajian itu, serta dukungan politik DPR-RI, maka diputuskan perubahan Bulog dari LPND menjadi Perum Bulog. Harus ada kekuatan Bulog apabila beralih sebagai lembaga Perum, kekuatan itu meliputi: Pertama: Bulog masih tetap melaksanakan tugas publik yang dibebankan pemerintah. Kedua:Bulog dapat juga melaksanakan fungsi bisnis. Ketiga: Hasil dari aktivitas usaha Perum sebagian dapat digunakan untuk mendukung tugas publik. Keempat: Bulog dalam status Perum memungkinkan menerapkan prinsip penghargaan dan hukuman. Kelima: Bulog dapat pula mengoptimalkanpemanfaatan semua aset yang kini dikuasai termasuk didalamnya SDM. Pada saat sekarang, Perum Bulog mengemban setidaknya 4 tugas publik (PSO) yang terkait dengan beras: Yaitu: (i) jaminan harga pembelian pemerintah untuk gabah/beras, (ii) stabilitas harga, (iii) pengelolaan raskin, dan (iv) cadangan pangan nasional. Keempat pilar PSO tersebut saling menopang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pengalaman panjang Bulog sebagai lembaga logistik, yang kemudian ditransform menjadi lembaga Perum. 4 tantangan utama yang dihadapi dalam 5-10 tahun mendatang: Pertama: bagaimana memperkuat manajemen di dalam lembaga, sehingga Bulog menjadi lembaga profesional di bidang logistik. Kedua: bagaimana mernacang aktivitas komersial yang mampu bersinergi dengan tugas PSO, dan dapat pula menggerakkan ekonomi perdesaan. Ketiga: bagaimana merebut kembali kepercayaan publik terhadap lembaga, terutama yang terkait dengan tugas-tugas PSO. Keempat: bagaimana pemerintah dapat menyediakan dana yang layak untuk masing-masing program PSO secara terpisah, seperti Raskin, Pengadaan DN dalam rangka perlindungan HPP< CBP dan tugas publik lainnya. Dengan cara itu, kita dapat mengukur efektivitas masing-masing program publik. Berbicara tentang RASKIN diawali dengan adanya program Operasi Pasar Khusus Beras pada pertengahan tahun 1998 dan akan selalu terkait dengan awal munculnya krisis moneter dan ekonomi. Apabila ditengok ke belakang, terjadinya krisis moneter yang dimulai pertengahan tahun 1997, disertai kemarau kering serta bencana kebakaran hutan dan ledakan serangan hama belalang dan wereng coklat pada waktu itu telah menyebabkan penurunan produksi pangan secara nyata. Penurunan produksi ini juga dipicu oleh kenaikan harga pupuk dan obat pemberantas hama yang cukup tinggi sehingga penggunaan sarana produksi pertanian mengalami penurunan. Biaya hidup petanipun meningkat akibat terjadinya kenaikan harga semua kebutuhan. Harga beras mulai merangkat naik sejak bulam Mei 1997 dan mencapai puncaknya sekitar Mei - Juni 1998. Situasi itu juga diperburuk dengan meletusnya kerusuhan pada tanggal 12-14 Mei 1998 yang secara langsung telah mempengaruhi kelancaran distribusi pangan. Dalam situasi yang demikian, kondisi politik juga semakin menghangat yang mencapai puncaknya dengan adanya pergantian kepemimpinan Nasional pada tanggal 21 Mei 1998. Penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan semua kebutuhan biaya hidup, hilangnya sebagian besar sumber pendapatan masyarakat karena PHK melengkapi tekanan terhadap stabilisasi sistem pangan secara menyeluruh. Di beberapa daerah juga dikhabarkan telah terjadi rawan pangan , dan kesemuanya ini apabila tidak segera diambil tindakan untuk mengatasinya dikhawatirkan akan menimbulkan eskalasi kerawanan sosial yang lebih besar. Menghadapi situasi yang demikian, maka pemerintah dalam sidang Kabinet tanggal 3 Juni 1998 telah memutuskan untuk membentuk Tim Pemantau Ketahanan Pangan yang prinsipnya merupakan Food Crisis Center atau pusat penaggulangan krisis pangan. Langkah ini ditindak lanjuti dalam Rakor Ekuin tanggal 24 Juni 1998 yang membahas khusus mengenai mekanisme penyaluran bantuan pangan kepada masyarakat yang mengalami rawan pangan, yang akhirmya sampai pada keputusan untuk melaksanakan program bantuan pangan melalui Operasi Pasar Khusus yang operasionalnya dilaksanakan oleh BULOG. Penunjukan BULOG untuk melaksanakan program ini antara lain karena beberapa asalan seperti kesiapan sarana pergudangan , SDM dan stok beras BULOG yang tersebar di seluruh Indonesia, dan mekanisme pembiayaan yang memungkinkan BULOG mendistribusikan terlebih dahulu berasnya , kemudian baru ditagihkan kepada pemerintah. Oleh karena itu dengan penunjukan BULOG akan memungkinkan program bantuan pangan ini dapat segera dilaksanakan. Program bantuan pangan yang dikemas dalam bentuk Operasi Pasar Khusus (OPK) ini juga menjadi rintisan program bantuan sosial lainnya dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS). Ada beberapa pertimbangan mengapa bantuan pangan ini diberikan dalam bentuk beras, antara lain karena beras merupakan pangan pokok mayoritas penduduk, dan porsi pengeluaran untuk pangan bagi penduduk miskin adalah cukup tinggi. Memang ada model bantuan lainnya yaitu dalam bentuk uang tunai, namun pola ini cukup rawan terhadap penyimpangan. Pada saat munculnya program OPK, Indonesia memang belum memiliki model bantuan pangan yang mantap seperti di negara-negara maju (seperti pola food stamp di AS misalnya). Oleh karena itu maka pola OPK dianggap menjadi alternatif yang paling rasional. Namun dalam perkembangannya dengan masih akan adanya masalah kemiskinan, maka bantuan pangan OPK ini diharapkan dapat menjadi dasar/landasan model bantuan pangan dimasa-masa mendatang. Setiap tahunnya program OPK dievaluasi dan terus melakukan penyempurnaan. Pada tahun 2002, nama program diubah dengan RASKIN (Beras untuk Keluarga Miskin) dengan tujuan agar lebih dapat tepat sasaran. Keluarga yang tidak miskin akan menjadi malu untuk ikut dalam antrian mendapatkan jatah beras RASKIN. Program ini terus berjalan sampai dengan saat ini dengan mengikuti kemampuan subsidi yang dapat diberikan pemerintah kepada keluarga miskin dan perkembangan data keluarga miskin yang terus dilakukan penyempurnaan. Sejak diluncurkannya program bantuan pangan bersubsidi pada Juli 1998 dengan sebutan Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras, sampai saat ini telah banyak pihak yang menyoroti, mengkritik maupun memuji pelaksanaannya. Perubahan nama program dari OPK menjadi Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN) pada tahun 2002 bertujuan untuk lebih mempertajam ketepatan sasaran penerima manfaat ( self targeting ). Beberapa hasil studi, kajian, dan penilaian yang dilakukan oleh berbagai pihak (Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Peme¬rintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Internasional dan Lemba¬ga Profesi yang Independen) selama 1998-2003 telah memberikan masukan yang berarti dalam penyempurnaan program RASKIN. Pada tahun 1998/1999, dua puluh enam (26) Perguruan Tinggi dan LSM Selindo (kecuali Timor Timur dan Maluku), telah melakukan evaluasi terhadap program OPK. Acuan evaluasi menggunakan pedoman evaluasi yang disusun oleh Pusat Pengembangan Agribisinis (PPA) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa bantuan beras sejumlah 20 kg/KK telah dapat menolong 2/3 kebutuhan beras rumah tangga . Masukan dari Tim tersebut sangat ber¬harga untuk pemantapan program tahap berikutnya. Tim menemukan bahwa masih banyak daerah yang jatah berasnya dibagi rata sehingga secara riil rata-rata keluarga menerima kurang dari 20 kg/KK/bln. Untuk itu Tim menyarankan perlunya peningkatan sosialisasi yang diikuti dengan validasi data secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaan perlu mendekatkan titik distribusi dengan kelompok sasaran dengan meningkatkan koordinasi yang lebih harmonis pada setiap tingkatan wilayah. Hasil evaluasi 26 PT/LSM juga telah dibahas dalam sarasehan evaluasi OPK yang merekomendasikan perlunya melan¬jutkan program ini dengan penyempur¬naan yang mencakup sasaran penerima, mekanisme pelaksanaan, sosialisasi dan penanganan keluhan. Keterlibatan Perguruan Tinggi dan LSM sejak awal penerapan program menunjuk¬kan adanya keseriusan pemerintah untuk lebih transparan dan dapat dipertanggung¬jawabkan. Disamping itu dengan melibat¬kan Perguruan Tinggi dan LSM akan mendorong terciptanya kontrol sosial di masyarakat terhadap jalannya program. Pada tahun 1999, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Centre for Food, Nutrision and Agriculture Studies and Sevices (CEFFNAS), dan Universitas Gadjah Mada melakukan studi program OPK ini. Hasil studi yang dilakukan LP3ES membe¬rikan beberapa masukan dalam upaya pemantapan program setelah tahun 1999. Beberapa hasil kajiannya antara lain menyangkut adanya ketidaksesuaian antara kriteria dengan realitas penerima, perlu¬nya penajaman sasaran, perlunya melibatkan LSM dalam pendistribusian serta perlunya peningkatan sosialisasi. Hasil studi CEFFNAS menyarankan agar distribusi OPK perlu disesuaikan dengan pola panen padi. Disamping itu dalam mekanisme penentuan kelompok sasaran agar dapat diupayakan dengan pola bottom - up yang proses seleksinya dilakukan oleh Pemda dan masyarakat setempat. Sosialisasi juga perlu terus dilakukan untuk penetapan prioritas target sasaran yg berhak di lapangan. Sedangkan hasil studi yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) membe¬rikan beberapa rekomendasi. UGM me¬nyebutkan perlunya pendataan ulang kelu¬arga sasaran dengan metode yang lebih realistis dengan penentuan kriteria yg rasional (data dasar BKKBN). Nama OPK juga perlu diganti untuk lebih mempertajam makna program. Selain itu perlu terus dilakukan peningkatan sosialisasi program. Dalam hal kemasan, perlu pola kemasan paket (20 Kg) dan pengawasan yang lebih baik. Krisis pangan yang dibarengi dengan krisis ekonomi menimbulkan berbagai spekulasi awal akan kemungkinan munculnya baha¬ya kekurangan pangan yang meluas di Indonesia. Dugaan tersebut ternyata tidak terbukti walaupun di beberapa daerah terdapat kasus terjadinya gizi buruk, namun kasus tersebut bukan hanya semata-mata karena dampak dari krisis pangan dan ekonomi saja akan tetapi ada faktor lain seperti kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan seperti di Sumatera Barat atau faktor sosial budaya. OPK dinilai menjadi salah satu program yang cukup berhasil antara lain karena kemampuannya untuk meng cover area dan populasi penduduk yang cukup luas dan besar sehingga penduduk di remote area yang mengalami kesulitan memperoleh akses fisik dan ekonomi dalam bidang pangan masih dapat terjangkau oleh program ini. Salah satu bentuk perhatian lembaga internasional terhadap program OPK ada¬lah adanya beberapa kajian dan analisis yang dilakukan oleh beberapa lembaga internasional seperti yang dilakukan oleh Dr. Frank Wiebe dari Harvard Institute For International Development - USA . Frank dari hasil analisisnya antara lain menyimpulkan bahwa program pendis¬tribusian beras untuk masyarakat mis¬kin secara langsung pada kelompok sasaran merupakan upaya yang terbaik dalam mengatasi masalah rawan pangan. Sedangkan studi oleh Economic Management Services International - EMSI (Dr. Steve Tabor) menyoroti program bantuan pangan ini dikaitkan dengan manfaat dan dampaknya terhadap pereko¬nomian dan masyarakat dengan aspek yang lebih luas. Studi ini menggunakan data yang berasal dari berbagai sumber dengan pendekatan analisis kuantitatif terhadap elemen-elemen yang mendukung pelaksanaan program dan dampaknya serta manfaatnya kepada masyarakat dan ekonomi secara umum. Beberapa aspek yang menjadi inti analisis adalah biaya-biaya program, transfer keuntungan dari program, efektivitas biaya program, dampak ekonomi program, implikasi program OPK terhadap harga beras dan pendapatan petani, dan transfer ketahanan pangan. Studi tersebut menunjukkan bahwa efek total OPK telah meningkatkan pendapatan nasional sebesar 6,4 triliun (pada tahun pertama) jika memperhitungkan efek lang¬sung dan multipliernya dari transfer fiskal tersebut. Dengan memberi stimulasi terha¬dap permintaan agregat, maka program OPK telah meningkatkan pendapatan buat 72.000 pencari kerja baru yang biaya penciptaan kerjanya sebesar Rp. 476.000. Hal ini merupakan prestasi yang nyata. Tentunya biaya penciptaan tenaga kerja ini jauh lebih rendah dibandingkan biaya penciptaan tenaga kerja sektor manufaktur. EMSI juga menyebutkan bahwa program OPK dapat dipandang sebagai transfer pendapatan pemerintah secara tidak lang¬sung terhadap keluarga miskin. Perbedaan antara harga di tingkat pasar dan harga eceran yang harus dibayar keluarga miskin untuk membeli beras adalah sama dengan transfer pendapatan, atau transfer keun¬tungan untuk RT sasaran yang dalam tahun 1988 mencapai Rp 3,4 triliun. Rata-rata transfer beneficiaris per bulan per RT sasaran sebesar Rp. 6.412, maka diperki¬rakan total transfer keuntungan kepada RT sasaran mencapai Rp. 2,9 triliun. Hasil studi EMSI menekankan bahwa program OPK adalah program dengan biaya sangat efektif. Rasio transfer keuntungan bersih terhadap biaya total adalah 85%, rasio keuntungan bersih penerima OPK terhadap biaya finansial adalah 106%, dan rasio biaya operasional terhadap transfer keuntungan bersih adalah 10%. Pada waktu harga beras tidak mampu dikontrol dan program OPK diperkenalkan, inflasi dapat dikontrol. Harga beras ternyata telah membawa proses deflasi. Dalam situasi seperti itu, maka program OPK menjadi penting kontribusinya bagi stabilitas harga . Pada periode ekonomi terpuruk yang diikuti oleh " food riots ", pembatasan aktivitas perdagangan pangan oleh swasta di beberapa kota telah berakibat kepanikan konsumen. Sejak OPK mulai meluas, maka kepanikan tersebut dan penjarahan pangan khususnya beras dapat terhenti . Apabila program OPK tidak ada maka pendapatan masyarakat miskin akan turun sebesar 11%, dan pendapatan masyarakat paling miskin akan menurun lebih besar lagi yaitu 22%. Perhitungan tersebut berdasarkan pendapatan pada garis kemis¬kinan tahun 1998. Tanpa program OPK, konsumsi kalori kelu¬arga miskin berkurang sebesar 8% dan konsumsi protein turun sekitar 15%. Jum¬lah masyarakat kelaparan dan kekurangan gizi akan semakin bertambah. Mutu makanan masyarakat miskin juga akan menurun. Dengan demikian program OPK dapat menolong mempertahankan tingkat produktivitas untuk kesehatan dan pendi¬dikan. Awalnya program OPK termasuk dalam Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan merupakan komponen food security, bukan merupakan program pelengkap ( complement program ) dalam program JPS namun menjadi komponen inti sehingga pelaksanaannya direkomendasikan dapat berkelanjutan. Program OPK harus menjadi instrumen jangka panjang untuk membantu rumah tangga yang rawan pangan. Program ini lebih cost effective dibandingkan dengan model subsidi harga pangan dengan pola umum ( general price subsidy ). Program ini juga impaknya terhadap ekonomi cukup positif dibandingkan dengan biaya yang harus dipikul oleh APBN dan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia akan menghadapi persoalan serius dalam keta¬hanan pangan pada tahun-tahun menda¬tang, dan usaha untuk menyempurnakan program OPK merupakan langkah paling efektif guna mengatasi kerawanan pangan. Program OPK telah membuktikan lebih efektif dalam menangani ketahanan pangan daripada kebijakan beras murah yang digantikannya . Apabila OPK menja¬di instrumen utama dalam mengurangi resiko ketahanan pangan, hal ini harus diakomodasikan dalam anggaran rutin pemerintah. Pendapatan minimum Rumah Tangga dapat digunakan sebagai indikator dalam menjaring RT sasaran. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperbaiki indikator BKKBN yang digunakan untuk menjaring RT sasaran. HASIL STUDI PERIODE RASKIN Sebagaimana OPK, setelah berubah nama menjadi RASKIN, masih banyak pihak yang melakukan studi dan evaluasi. Evaluasi dilakukan oleh 35 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta (PTN/S), Lembaga Pe¬merintah (BPKP), Univer¬sitas Brawijaya dan Lembaga Demografi UI. Hasil evaluasi oleh 35 PTN/S, p ada tahap I menyimpulkan bahwa dari 11 program yang ada dalam JPS baru program RASKIN yang sudah berjalan mulai bulan Januari - Pebruari 2003. Masih ditemukan jumlah beras yang dibagikan kurang dari 20 kg per KK per bulan akibat jumlah penerima manfaat yang melebihi jumlah pagu yang tersedia. Hampir semua daerah melakukan modi¬fikasi berdasarkan musyawarah desa yang ditegaskan oleh SK Gubernur/Bupati/Wali¬kota yang bertujuan menampung local wisdom (kebijakan setempat). Pada akhirnya, 35 PTN/S tersebut membe¬rikan penilaian terhadap kinerja RASKIN dengan nilai 83,74% untuk indikator kete¬patan sasaran dan 59,74% untuk kete¬patan jumlah (atau rata-rata penerimaan per KK per bulan adalah 13,3 kg). Untuk ketepatan waktu dinilai 64,00%, dengan tingkat pemenuhan kebutuhan 44,90% dan efektivitas program 57,90%. Studi oleh Universitas Brawijaya menye¬butkan bahwa program RASKIN harus diimbangi dengan penguatan kelembagaan lokal seperti kelembagaan pangan dengan tujuan untuk mengantisipasi kerawanan pangan. Studi ini masih menemukan per¬masalahan klasik tentang ketepatan jumlah yang diterima per KK, ketepatan harga akibat ongkos transportasi, maupun kua¬litas dan kuantitas berasnya. Untuk itu Tim Studi Universitas Brawijaya menyarankan bahwa program RASKIN masih tetap diperlukan dalam rangka mengatasi masalah kekurangan gizi mikro pada masyarakat terutama masyarakat miskin. Program RASKIN perlu diintegra¬sikan dengan program lainnya dalam mengatasi masalah kemiskinan. Karena masih ditemukan kekurangan pagu, Tim Studi Univer¬sitas Brawijaya menyarankan agar ada penambahan pagu Raskin. Tambahan alokasi ini dapat dise¬diakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tingkat Pusat maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tingkat Daerah. Tambahan dana ini juga diperlukan untuk biaya operasional dari Titik Distribusi ke penerima manfaat. Sedangkan untuk meningkatkan pema¬haman masyarakat terhadap program RASKIN maka sosialisasi, monitoring dan evaluasi terhadap program Rakin secara terus menerus perlu dilakukan. Tim Universitas Brawijaya juga menyaran¬kan agar data masyarakat miskin, kebutuh¬an dasar pangan, konsumsi dan elastisi¬tasnya, kemampuan produksi dan produksi maksimal serta distribusi akan bisa diintegrasikan dalam satu Sistem Informasi Pangan Nasional (SIPN) sehingga peran RASKIN sebagai stimulan akan bisa ditingkatkan apabila dilakukan persiapan pengembangan kebijakan secara integral berkesinambungan. Studi tentang RASKIN juga dilakukan oleh LEMBAGA DEMOGRAFI UI yang mene¬mukan bahwa Kuantitas beras yang dibeli oleh KK Penerima Manfaat bervariasi antara 3,5 - 20 kg/KK, karena jumlah KK Miskin yang membutuhkan lebih banyak dari pada jumah beras yang didrop; tidak punya uang untuk membeli sebanyak 20 kg; tempat beli beras sulit dijangkau dan ada juga alasan kualitas beras yang kurang/tidak baik. Penerima manfaat pada umumnya menya¬takan bahwa kualitas beras yang diterima sama atau lebih baik dari dari beras bulan sebelumnya dengan harga beras berkisar antara Rp. 1.000 - 1.200 karena untuk biaya angkut/tranposrtasi dari titik distribusi ke penerima manfaat. Untuk ketepatan waktu , di beberapa dae¬rah distribusi dilakukan setiap bulan, kecu¬ali untuk beberapa wilayah tertentu yang sulit dijangkau droping dilakukan dua bulan sekali atau tergantung situasi. Dalam studinya, Lembaga Demo¬grafi UI menyebutkan kendala pelaksanaan RASKIN seperti kurangnya dukungan dana opera¬sional terutama untuk pengang¬kutan dari titik distribusi ke pene¬rima manfaat, jumlah beras lebih sedikit dari pada jumlah KK yang membutuhkan, maupun kondisi geografis wilayah dengan tingkat kesulitan yang berbeda menurut wilayah. Sedangkan faktor pen¬dukung adalah adanya koordinasi antar instansi, peran serta masyarakat, dan evaluasi/peman¬tauan. Dari hasil temuan tersebut, Tim Peneliti UI (Lembaga Demograsi UI) merekomendasikan bahwa dengan nilai ketepatan sasaran baru dicapai sekitar 86%, disaran¬kan agar dibentuk institusi khusus di level bawah (tingkat penerima manfaat) semacam Kelompok Kerja Penanggulangan Kemis¬kinan Tingkat Desa/Kelurahan beranggo¬takan tokoh masyarakat setempat. Saran lain untuk lebih tepat sasaran adalah pendataan KK Miskin dilakukan oleh aparat paling rendah misalnya Ketua RT/RW yang dapat mengamati dan menilai tingkat kemiskinan warga mereka sekaligus kete¬tapan sasaran. Dalam pelaksanaan penyaluran beras Raskin, perlu penegasan kembali bahwa RASKIN bukan hanya program Perum BULOG tetapi menyangkut semua pihak. Perlu kerjasama dengan Pemda dan jajarannya. Untuk itu sosisalisasi perlu terus dilanjutkan dan perlu tranparansi terhadap masyarakat sehingga RASKIN dapat diketahui secara gamblang dan jelas. Tim penilai harus dibentuk pada level daerah dan harus melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program.

Artikel yang Berhubungan:



Artikel yang Berhubungan:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar