September 19, 2008

BBM, Haruskah Naik (Lagi) ?

Sebuah persembahan dari ; Qadaruddin Fajri Adi Presiden BEM FTP 2008 Negara ini di mana? Pada saat ini rakyat justru berada dalam situasi di mana setiap terjadi konflik horizontal, negara tidak ada di situ. (Hotman Siahaan, Sosiolog Unair) Akhirnya pemerintah merealisasikan rencananya untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi. Tepat pukul 00.00 WIB pada 28 Mei 2008, harga BBM resmi naik dengan rerata 28,7%. Harga jual premium ditetapkan Rp6000,00 per liter; solar Rp5.500,00 per liter dan minyak tanah Rp2.500,00 per liter. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM didasari oleh 3 alasan, yaitu pertama, harga minyak dunia melambung tinggi hingga mencapai US$ 135 per barrel. Sedangkan subsidi yang ditetapkan APBN hanya US$ 80 per barrel. Artinya, ada selisih + US$ 55 per barrel. Dan ini dianggap membebankan APBN. Kedua, subsidi BBM banyak dinikmati orang-orang kaya. Ketiga, selisih harga BBM domestik dengan negara tetangga terlalu tinggi. Kenaikan harga BBM bukanlah situasi yang bebas nilai. Pasalnya ketika harga BBM naik, efeknya berganda dan akan langsung terasa. Ongkos transportasi, harga produksi, harga kebutuan pokok, suku cadang, bahan bangunan serta kebutuhan pokok lainnya akan ikut-ikutan naik. Akibatnya pertumbuhan ekonomi terhambat, pengangguran bertambah dan berkurangnya daya beli. Alhasil, rakyat seperti kelas ekonomi menengah ke bawah (petani dan nelayan) kembali menjadi tumbal. Ini belum ditambah efek lain seperti kenaikan harga beras yang terjadi sebelumnya. Seperti halnya di tahun 2005, Bantuan Langsung Tunai (BLT) kembali disiapkan oleh pemerintah untuk mengatasi gejolak yang timbul akibat kenaikan harga BBM. Tentu harapannya agar denyut kehidupan rakyat miskin itu tidak terganggu. Namun apakah itu semua efektif untuk terus dilakukan? Pada kenyataannya BLT menyisakan masalah di sana-sini mengingat pengeluaran BLT banyak yang tidak tepat sasaran. Situasi ini diperparah dengan data rakyat miskin yang dipakai untuk menerima BLT adalah data tahun 2005. Padahal, jumlah rakyat miskin sudah berubah (baca: bertambah), tidak heran di beberapa daerah, pembagian BLT memicu konflik horizontal dalam masyarakat. Sejak awal, beberapa kalangan seperti ekonom, praktisi, mahasiswa, buruh dan nelayan sudah menyatakan sikap menolak kenaikan harga BBM. Penolakan ini didasari oleh sikap skeptis terhadap retorika pembenaran kebijakan penaikan harga BBM oleh pemerintah. Nah, sikap inilah yang seharusnya inherent dalam diri mahasiswa sebagi intelektual muda, agent of change. Dari sini akan lahir, sikap kritis sehingga tidak mudah menerima sebuah wacana tanpa pengkajian dan pembuktian ilmiah terlebih dahulu. Tjipta Lesmana, kolumnis dan Guru Besar Ilmu Politik (Kompas, 27/5/2008), menuliskan bahwa pemerintahan Yudhoyono masih saja menggunakan retorika ala orde baru dalam memberikan justifikasi kebijakan menaikkan harga BBM. Wacana subsidi BBM 80% hanya dinikmati oleh orang kaya, seharusnya dapat kita telaah lebih jauh lagi sebenarnya subsidi BBM juga dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Seluruh produk barang dan jasa membutuhkan konsumsi BBM. Maka, begitu harga BBM naik seluruh harga barang dan jasa ikut naik. Ilyani Sandang, peneliti YLKI, (Kompas 28/05/2008) menuliskan bahwa usaha mikro, kecil menengah (UMKM) sangat bergantung pada BBM. Jumlah UMKM di Indonesia mencapai 48 juta unit dan sebagian besar bergantung pada BBM. Begitu juga nelayan, 60% harga produksinya berasal dari BBM. Jumlah nelayan di Indonesia mencapai 13,4 juta orang (Statistik Perikanan, 2004). Jika dilihat dari jumlah orang yang bergantung pada jenis usaha ini (UMKM dan nelayan, asumsi 3 orang per unit), akan ada 150 juta manusia yang menggantungkan hidupnya pada subsidi BBM secara langsung. Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan membuat mereka kembali terpuruk. Harga BBM Indonesia masih termurah di Asia, hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro. Bahkan, beliau membandingkan harga BBM Indonesia dengan Filipina, Thailand dan Singapura. Padahal di Singapura, pendapatan per kapita rakyatnya jika dikurskan dalam rupiah sebesar 20,8 juta per bulan. Sementara di Indonesia, pendapatan per kapitanya hanya Rp1.250.000,00 per bulan. Jadi wacana membandingkan harga bensin Indonesia dan negara luar adalah tidak tepat. Kenyataan tersebut kembali membuktikan bahwa pemerintah sudah kehilangan sensitivitasnya. Kwiek Kian Gie, pakar ekonomi, berkali-kali mengusulkan kepada pemerintah untuk tidak menikkan harga BBM sebab berdasarkan hasil perhitungan ekonomi, tidak akan terganggu. Apa lacur walaupun sudah jelas kebenarannya. Pemerintah tetap tidak bergeming. Lantas! Apa esensi keberadaan eksistensi pemerintah dalam suatu negara? Bukankah pemerintah ada untuk menyejahterakan rakyat? Ups! Ternyata masih sebatas wacana.

Artikel yang Berhubungan:



Artikel yang Berhubungan:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar